Showing posts with label Lagaligo. Show all posts
Showing posts with label Lagaligo. Show all posts

30.4.22

Ciri Sastra dan Tipologi Bahasa Epos Lagaligo

 

Karya sastra disebut juga karya seni kebahasaan, sebab karya sastra menggunakan bahasa sebagai materinya. Bahasa di dalam karya sastra kedudukannya berbeda dengan pemakaian dalam komunikasi biasa (percakapan sehari-hari) yang lebih diarahkan pada kepentingan praktis. Dalam karya sastra bahasa tidak diarahkan kepada apa yang ditunjuk dalam dunia eksternal (fungsi praktis), melainkan kepada tanda itu sendiri (fungsi poetik), karena itu teks seni kebahasaan pada prinsipnya menarik perhatian pada struktur tanda yang secara tidak langsung, atau secara kiasan memberikan informasi relevan terhadap konteks sosial. Karena itu bahasa merupakan sistem model dunia yang pertama, yakni membina model dunia nyata yang mempengaruhi dan menguasai kehidupan individu dan masyarakat, sedangkan karya sastra merupakan sistem model dunia kedua, bahasa sudah terjalin ke dalam sistem semiotik, pembangunan "dunia dalam kata" yang mempunyai kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri . Bahasa dan unsur-unsurnya, terutama dalam karya genre (Lagaligo), terlihat diusahakan pemanfaatannya secara maksimal. Unsur-unsur bahasa yang diabaikan, yang tidak mempunyai relevansi dalam pemakaian sehari-hari (seperti beberapa aspek bunyi, rima, urutan kata), disemantiskan sebagai unsur karya sastra .  Epos lagaligo kosakatanya membingunkan terkadang pemilihan kata (diksi) dua kata yang bersinonim disandingkan menjadi metrum untuk mencukupkan 5 suku kata sebagai ciri khas Lagaligo.


Sifat bahasa sastra sebagai bahasa yang berfungsi estetis, yaitu menarik perhatian pada perubahan struktur tanda linguistik dalam istilah Linguist disebut dengan fungsi poetik (penyelidikan mengenai puisi dari sudut linguistik) inilah ciri yang paling dominan dalam karya sastra, khususnya puisi. Fungsi poetik memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi ke poros kombinasi. Ekuivalensi dikembangkan menjadi pembentuk perturutan (sequence). Seleksi diproduksi pada dasar sepadan dan ketidaksamaan, sinonimi dan antonimi, sedangkan kombinasi dibangun dari perturutan yang didasarkan pada sifat hubungannya.


Karya sastra sebagai struktur mempunyai koherensi (keselarasan yg mendalam antara bentuk dan isi ) yang intrinsik, tetapi tidak berarti struktur itu merupakan sesuatu yang objektif, tetap, dapat dibuktikan secara ilmiah, dan langsung terbuka untuk analisis ilmiah, sebab karya sastra sebagai bangunan bahasa sebenarnya adalah fakta semiotik, atau disebut juga sistem tanda, Sebagai sistem tanda dapat dibedakan dua aspeknya, yaitu penanda (signijiant) dan petanda {signifie). Penanda merupakan artefak, dan petandalah yang menjadi objek estetik, pembacalah (atau pendengar) yang memberi makna pada karya sastra, menghayati artefak atau struktur yang mati menjadi objek estetik.


Memang, karya sastra secara estetis dinikmati, ditafsirkan, dan dievaluasikan oleh masyarakat pembacanya, sebab hanya inilah jalan yang memungkinkan karya sastra mencapai realisasi estetis dan menjadi objek estetik. Namun, hal yang demikian itu tidaklah mudah dilakukan, lebih-lebih untuk karya genre seperti Lagaligo kosakatanya sebagian sudah arkais, sebab puisi atau genre mengentalkan bahasa, dan padat. Genre mengekspresikan suatu konsep atau hal secara tidak langsung, lain yang tertulis lain juga yang dimaksudkan. Karya sastra merupakan fenomena dialektik antara teks dan pembaca, karena itu pembaca tidak terlepas dari ketegangan dalam usaha menangkap makna sebuah karya sastra Karena situasi karya sastra yang demikian, dapat terungkap dua tahapan proses perebutan makna, yaitu membaca secara heuristik dilanjutkan dengan membaca secara hermeneutik. Keadaan ini sesungguhnya juga merupakan dialektik antara tataran mimetik dengan tataran semiotik. Dalam tahap pertama pembaca melakukan interpretasi secara referensial (tataran mimetik) lewat pemahaman tanda-tanda linguistik, di sini pembaca menemukan meaning, arti secara linguistik, Interpretasi tahap pertama ini tidak memuaskan, sebab unsur-unsur ungrammatical tidak dapat diinterpretasikan secara referensial, sebab menyimpang dari kode bahasa. Penyimpangan ini merupakan tiga jenis semantik tidaklangsung  (semantic indirection), yaitu: 

(1) displacing, apabila tanda berubah dari satu pengertian ke pengertian yang lain, seperti yang terjadi dengan metafora dan metonimi; 

(2) distorting, apabila terdapat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense (kalimat yang tidak mempunyai arti secara semantis); 

(3) creating, apabila pengorganisasian tanda keluar dari bahan (items) linguistik, seperti simetri, rima, dan ekuivalensi semantik di dalam bait . Unsur-unsur ungrammatical ini baru dapat diinterpretasikan, disemantiskan, dalam tataran yang lain, yakni tataran semiotik. Tataran mimetik merupakan kunci bagi pembacaan tahap kedua yang bersifat retroaktif, sehingga mampu membongkar kode secara struktural untuk menemukan signifikannya, dalam sistem yang tertinggi, yaitu makna keseluruhan teks tersebut sebagai satu sistem tanda.


Dalam hal perebutan makna ini harus diperhatikan pula prinsip intertekstualitas, karena sebuah teks biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya atau dalam pertentangannya dengan teks yang lain, Karya sastra bersifat hipogram ini tidaklah eksplisit, mungkin terjadi di luar kesengajaan penyairnya, karena pengenalannya dengan cipta sastra sebelumnya. Hal yang demikian tentulah sangat wajar terjadi, sebab sebuah karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong, ia selalu merupakan arus kesinambungan sepanjang masa.


Karena itu bahwa setiap karya sastra merupakan mozaik dari penyerapan, dan transformasi dari karya-karya yang lain. Dengan demikian, kelengkapan atau keutuhan makna sebuah cipta sastra akan dapat terlaksana dengan baik kalau pembaca juga mengenal cipta sastra lainnya, sehingga memungkinkannya memecahkan misteri sebuah puisi. Dalam hal ini perlu diperhatikan pula bahwa pembaca sendiri bukanlah sesuatu yang abstrak, atau berian yang objektif. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan golongan sosial-budaya. Hal itu berarti bahwa karya sastra tidak sama pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Ini merupakan fakta yang diketahui oleh setiap orang yang sadar akan keragaman interpretasi yang diberikan pada karya sastra. Teori estetik, mencoba memberi landasan teori untuk mempertanggungjawabkan variasi dalam interpretasi dan apresiasi sastra sebagai sesuatu yang wajar, dalam memberikan sambutan terhadap suatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh horizon harapan (horizon of expectation). Namun demikian, konvensi sastra bukanlah sesuatu yang statis, yang terus berlangsung dalam ruang dan waktu tanpa perubahan, melainkan suatu sistem konvensi yang penuh dinamika. Ciri khas karya seni memang tidak mau mapan, ia selalu ada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan, antara konvensi dan inovasi, antara yang lama dan yang baru.

Pendobrakan dan penyimpangan atas kode sastra bagaimanapun revolusionernya tidak pernah mutlak sifatnya, sebab pemberontakan total berarti terhapusnya kemungkinan pembaca memahami karya tersebut. Pemungkiran terhadap kovensi, berbeda kadarnya antara karya modern dengan karya tradisional. Sastra tradisional dihayati secara bersama-sama. Sifat penikmatan yang demikian itu tidak memung kinkan terjadinya penyimpangan yang terlalu jauh dari sistem norma yang dimiliki, sebab harapan penikmat juga bersifat kolektif. Meskipun demikian, ternyata dalam masyarakat tradisional pun sistem sastra tidak stabil atau tidak stabil betul. Di Sana juga selalu ada pergeseran dan perubahan dalam horizon harapan, baik pada pihak pencipta maupun penyambut karya sastra. Sifat tidak mapan karya. sastra dengan konvensi sastra menunjukkan adanya hubungan dinamik antara karya sastra dengan penciptanya, dan antara sastra dengan penikmatnya. Masya rakat sebagai penikmat mempunyai norma-norma dan nilai-nilai estetik tertentu, sesuai dengan sistem sosial-budaya mereka pada saat tertentu pula. Sistem nilai ini membimbing horizon harapan masyarakat terhadap Epos lagaligo  tidak terikat pada dunia nyata, tetapi hadir berlatar belakang kenyataan melalui makna bahasa yang dipakai di dalamnya. Kenyataan yang terkandung di dalamyna tidak perlu cocok dengan realitas yang ada, bahkan kenyataan itu mungkin sekali diputarbalikkan oleh pengarang demi keperluan dunia rekaan yang hendak dibangunnya. Bagi pengarang, cukuplah dunia rekaan yang dibangunnya itu dimengerti oleh pembacanya , pertautannya dengan dunia nyata mungkin bersifat metaforis saja, atau menyarankan secara tidak langsung. Karena itu Lagaligo tak pernah langsung dipakai sebagai dokumen historis. Akan tetapi saya menggunakannya sebagai korpus data kosakata Bugis kuno yang mewakili fenomena bahasa pada zamannya. Tipologi bahasa epos La galigo adalah tipologi bahasa Austronesia bukan tipologi bahsa tipe fleksi, sinteik sebagaimana orang menyangka kosakata kuno menyangka kosakata  Sansekerta , Bahasa Lagaligo memiliki ciri bahasa vokalis, geminasi dan memilki ciri bunyi glotal stop pada akhir kata maupun tengah kata. Bercirikan sebagaimana bahasa Austronesia pada umumnya yakni afiksasi, reduplikasi, inklusif-eksklusif, morfologi kausatif (melakukan sesuatu untuk orang lain: membukakan, membelikan); berkonstruksi subjek-kata kerja-objek (saya makan nasi). 


Oleh : Syahruddin Fattah