Showing posts with label Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Hikmah. Show all posts

11.3.20

Menunaikan Tugas Guru Mendidik Murid

Kata orang, guru itu harus bisa digugu (dipercaya) dan ditiru. Apalagi guru agama. Alias ustadz, kyai, ajengan dan yang semisal. Sayangnya belakangan ini banyak guru yang belum bisa dijadikan panutan oleh murid-muridnya.

Syahdan ada seorang ahli hadits bernama Muhammad bin ‘Ala. Beliau biasa dipanggil Abu Kuraib. Karena satu dan lain hal, beliau mencela Imam Ahmad bin Hambal. Ulama besar Ahlus Sunnah yang tersohor itu.

Suatu hari ada serombongan santri yang pengin berguru kepada Imam Ahmad. Beliau bertanya, “Kalian barusan menghadiri kajian siapa ?”.

“Kajiannya Syaikh Abu Kuraib” jawab mereka.

Imam Ahmad komen, “Tetaplah belajar kepada beliau. Sungguh beliau adalah guru yang berkompeten”.

“Tapi beliau kan mencelamu wahai imam ?” tanya mereka keheranan.

“Gimana lagi ? Beliau tetap guru yang berkompeten. Hanya saja beliau sedang diuji dengan diriku”.

Kisah ini dibawakan Imam adz-Dzahabiy dalam kitab beliau Siyar A’lam an-Nubala’ (XI/317).

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah menarik ini. Di antaranya, bagaimana seorang guru menunaikan tugas untuk mendidik muridnya.

Ustadz juga manusia. Sehingga kecemburuan dan perasaan iri bisa saja menjangkiti hatinya. Apalagi saat menyaksikan kenyataan bahwa ustadz lain lebih banyak jama’ahnya.

Hal itu diperparah dengan keberadaan murid-murid pendukung yang fanatik. Punya hobi menukilkan kepada ustadnya tulisan terbaru postingan ustadz pesaingnya. Tidak jarang mereka juga berperan sebagai tukang sate. Ngipas-ngipasi emosi ustadznya, hingga panas bahkan gosong. Sehingga bantahan-bantahan yang dikeluarkan pun menggunakan beragam diksi yang tidak layak untuk disematkan kepada sesama ustadz.

Seharusnya kita berguru kepada Imam Ahmad. Bagaimana beliau berusaha mendewasakan murid-muridnya. Tidak mudah terpancing dengan nukilan berita. Bahkan berusaha mendinginkan suasana.

Juga melokalisir masalah. Permasalahan pribadi tidak usah diperlebar menjadi masalah manhaj. Baca: Mawa’izh ash-Shahabah, Dr. Umar al-Muqbil (hal. 80).

Bukan berarti tidak boleh membantah berbagai penyimpangan yang bersliweran di sekeliling kita. Asalkan proporsional.

Namun akhirnya kekuatan muroqobahlah yang berperan. Allah Mahatahu motivasi kita dalam menulis bantahan. Apakah benar-benar murni ikhlas dalam rangka membela agama Allah. Atau sejatinya berakar pada kecemburuan pribadi. Namun dipoles seakan itu adalah tahdzir syar’i.

Mari belajar dewasa dan mendewasakan murid-murid kita!! 

Ustadz Abdullah Zaen MA, حفظه الله تعالى.

8.3.20

Manusia Paling Takut dengan Tiga Waktu Ini

Dalam Alquran Allah SWT pernah memberi salam khusus kepada Nabi Yahya dan Nabi Isa as, seperti dalam Firman-Nya,
“Dan salam (keselamatan) bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS.Maryam:15)
“Dan salam (keselamatan) semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS.Maryam:33)

Kali ini kita bertanya, kenapa Allah Memberi salam di tiga waktu tersebut? Ada tiga waktu yang paling menakutkan bagi manusia. 

Waktu pertama adalah ketika hari kelahirannya, terbukti dengan tangisan bayi ketika baru keluar dari perut ibunya.

Waktu kedua adalah hari ketika masuk ke alam kubur (barzakh). Karena di alam ini, hijab dari manusia mulai terbuka dan ia mulai melihat secara nyata hasil dari amalnya di dunia.

Waktu ketiga adalah hari ketika dibangkitkan di padang Mahsyar. Seperti yang digambarkan Allah swt,
“Hati manusia pada waktu itu merasa sangat takut, pandangannya tunduk.” (QS.An-Naziat:8-9)

Hari di saat tidak ada yang dapat menolong kecuali amal baik kita di dunia ini. Allah Memberi salam di tiga waktu tersebut sebagai isyarat keselamatan bagi Yahya dan Isa karena ketiganya adalah waktu yang paling menakutkan bagi manusia.

Wajah Allah Swt Menurut Ali Bin Abi Thalib ra

Serombongan cendekiawan Nasrani yang dipimpin oleh seorang uskup mendatangi Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai salah satu sahabat nabi yang memiliki kedalaman ilmu.

Setelah memperkenalkan diri, mereka menyampaikan kedatangan mereka untuk mengajukan sejumlah pertanyaan teologis.
“Dimanakah Allah?” tanya salah seorang cendekiawan Nasrani.
Ali tidak menjawabnya langsung. Dia justru menyalakan api lalu mengajukan pertanyaan balik, “Manakah bagian depan (wajah) dari api ini?”
Setelah memperhatikan api yang dinyalakan Ali itu, cendekiawan Nasrani berkata, “Seluruh sisi api ini dapat dianggap sebagai bagian depan (wajah)-nya. Tak ada belakang dan tidak ada pula depan.”
Ali lalu menanggapi pertanyaan tamunya itu. “Ketika api saja yang merupakan ciptaan Allah tidak memiliki bagian depan secara khusus, maka Penciptanya sama sekali tidak memiliki keserupaan dengannya. Lebih dari itu, depan dan belakang, barat dan timur, semata-mata berasal dari Allah. Kemana saja engkau menghadapkan wajahmu, itulah wajah Allah, dan tak satupun yang tersembunyi dari-Nya.”( nl )