Showing posts with label Kesehatan. Show all posts
Showing posts with label Kesehatan. Show all posts

31.3.20

Bengkulu Darurat Corona

Satu Pasien Corona Meninggal Dunia di Bengkulu


23.3.20

Covid-19 - Antara Isolasi Mandiri dan Buruh

Perumahan Buruh
"Perkampungan buruh" yang berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat

Kemarin juru bicara pemerintah menyatakan bahwa seseorang yang dari hasil test dinyatakan positif mengidap virus corona agar melakukan ISOLASI MANDIRI. Isolasi mandiri merupakan mekanisme penanganan virus corona yang dilakukan oleh masing-masing penderita dengan cara mengkarantina diri di rumahnya sendiri-sendiri.

Kebijakan yang aneh dan terkesan AMBURADUL bin SEMRAWUT. Sepanjang yang saya tahu, tipikal masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan tempat tinggal berkelompok. Tidak ada yang tinggal sendirian.

Ambil contoh kasus kehidupan berkelompok di kota. Dimana-mana di sebuah kota yang ada industri dan pabriknya, maka di situ juga ada semacam "perkampungan" buruh. Buruh tinggal di rumah kos-kosan atau kontrakan.

Silahkan anda lihat foto ini. Ini ada "perkampungan buruh" yang berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Model bangunan mirip dengan tentara yang sedang ikut upacara baris-berbaris. Ruangan tempat tinggal hanya dipisahkan oleh dinding. Dalam setiap ruangan diisi oleh sekitar 2 hingga 6 orang. 

Sekarang anda bisa bayangkan sendiri, andai saja (semoga tidak) ada buruh yang dinyatakan positif mengidap virus corona dan disuruh untuk isolasi mandiri. Bisa dipastikan satu perkampungan buruh akan tertular yang kemudian berlanjut menjadi satu pabrik. Barang-barang yang mereka produksi lalu dijual dan masyarakat membelinya. Hasilnya apa? Hasilnya adalah seindonesia raya akan tertular. 

22.3.20

Tiga Dokter Andalan Meninggal Akibat Corona

Dokter korban corona
Dokter korban Corona

Innalillahi wainna ilaihi roji'uun...
Turut berbelasungkawa sedalam-dalamnya atas berpulangnya para dokter di tengah upaya membaktikan diri untuk melayani masyarakat.

Tiga orang dokter yang berada di garda terdepan meninggal dunia karena minimnya peralatan dan perlengkapan.

1. Kolonel CKM (Purn) dr Djoko Judojoko SpB. Meninggal Sabtu, 21 Maret 2020 pukul 11.15 WIB. Saat dibawa dari Bogor ke RSPAD sudah keadaan sudah sesak nafasnya setelah sempat dirawat di Bogor. Almarhum adalah dokter di BMC Mayapada Bogor.


 2. dr. Hadio Ali Khazatsin, Sp.S, Neurologist RS Premiere Bintaro, Covid-19 positif, meninggal Sabtu, 21 Maret 2020 di RS Persahabatan.


3. dr. Adi Mirsa Putra, Sp.THT di RS Persahabatan, Sabtu, 21 Maret 2020 jam 11.30 WIB dengan status PDP Covid-19. Almarhum praktik di RS Ananda Bekasi dan RS Mitra Keluarga Bekasi Barat.

Ketiga dokter ini dikabarkan meninggal dunia akibat terpapar virus Corona SARS-COV-2 penyebab COVID-19,
Selamat jalan pahlawan pejuang kemanusiaan.

16.3.20

Cuci Tangan Ala Petani

Akhir-akhir ini, aku kembali mendengar slogan "cuci tangan sebelum makan dengan cairan pembersih." Slogan ini membuana seiring dengan munculnya virus corona. Sebuah slogan yang sudah kudengar sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. 

Bagiku, kata-kata berisi anjuran tersebut bukan hal yang baru lagi. Sebagai anak petani, kami anak-anak petani sudah terbiasa dengan tradisi mencuci tangan. Namun, ada perbedaan antara kebiasaan mencuci tangan antara kami, anak petani, anak kampung dengan kalian, anak-anak kota? Jawabannya, ada! 

Ya. Aku adalah anak petani. Petani miskin. Terlahir dari keluarga petani miskin di sebuah pedesaan di Pulau Jawa. Besar di lingkungan yang diisi oleh para keluarga petani miskin. 

Benar. Tinggal di sebuah desa yang sungguh-sungguh tertinggal, juga terbelakang. Padahal lokasinya tidak jauh dengan pusat ibukota Propinsi Jawa Timur, Surabaya.  

Listrik baru menyala menjelang tahun 2000-an. Jalanan desa menuju kota kecamatan berlumpur bin hancur, dan baru diperbaiki sekitar tahun 2010-an. Ironis!

Sebagai anak petani, bermain-main dengan lumpur bukan sesuatu yang aneh. Hiburan kami, setiap hari. Bermain di sawah, mencabut rumput, ikut menanam padi dan jagung merupakan kegiatan kami. Bukan hanya itu, harus juga mengarit (potong rumput) untuk beri makan ternak kami. Ya. Inilah sedikit kehidupanku sebagai anak petani. 

Suatu hari, di musim hujan. Musim tanam padi pun datang. Aku pergi ke sawah. Pagi-pagi. Ikut membantu menanam padi bersama keluarga. 

Berkaitan dengan makan, kami biasa makan di sawah mulai dari sarapan pagi dan makan siang. Makanan diantar oleh simbokku (ibu). Ramai-ramai, kami makan bersama-sama. 

Bagaimana cara kami makan? Sebagaimana kebiasaan orang Jawa di kampung, cara kami makan adalah dengan menggunakan tangan. Kami tidak terbiasa dengan sendok dan garbu. Kami juga tidak terbiasa dengan piring. Kami terbiasa menggunakan daun pisang atau daun jati. 

Karena dengan tangan, tak lupa, kami mencuci tangan dengan menggunakan air yang di sawah. Orang kota bilang "air kotor." Tapi, bagiku itu adalah air yang bersih bahkan lebih bersih dibanding dengan air yang dipakai mandi oleh orang kota. 

Ya. Sebelum makan, kami cuci tangan. Karena basah, biasanya kami mengeringkan tangan dengan cara menggosok-gosokkan di baju atau celana. Di celana bagian belakang, tepatnya di pantat. Aneh? Tidak. Kami sudah terbiasa. 

Setelah itu, kami makan. Nikmat dan lezat. Selesai makan, kami kembali mencuci tangan dengan air yang sama dan mengeringkan tangan dengan cara yang sama. Beberapa saat setelah beristirahat, kami kembali bekerja. 

Mengapa tidak sakit? Bukankah air sawah itu kotor? Apalagi mencuci tangannya tidak pakai sabun pencuci tangan? Apalagi mengeringkannya tidak pakai tisu? Dan, makannya juga tidak pakai piring?

Hehehe soal sakit, pasti kami sakit. Tapi...

Air sawah di kampungku adalah air hujan. Artinya, air yang jatuh dari langit. Tidak ada limbah pabrik yang mengotorinya. Tidak ada plastik dan tetek-bengek sampah sebagaimana yang sering kita lihat di kota. Jikapun ada kotoran, air kencing kami sendiri. Misalnya saja, aku sering kencing di celana saat main-main di sawah. Tentunya sambil duduk. Jadi, bisa dibilang bahwa air sawah adalah air yang bersih. Tidak butuh sabun pencuci tangan. 

Benar. Kami mengeringkan tangan tidak dengan tisu tapi masing-masing baju atau celana kami. Tenang saja. Baju yang kami pakai adalah baju yang bersih. Biasanya, selesai bekerja kami mencucinya. Karena itu, baju kami lebih sehat dibandingkan tisu buatan pabrik. 

Benar. Kami sakit. Tapi sakit kami sebagai petani kebanyakan sakit karena kelelahan dalam bekerja. Kami sakit karena stres dengan rendahnya harga tanaman kami. Kami sakit saat mengalami gagal panen. Kami sakit gara-gara barang impor menenggelamkan produksi panen kami. Kami sakit karena pemerintah berkong kalikong dengan kaum cukong!

Ya. Kami tidak mengenal virus corona, HIV/AIDS dan seterusnya. Penyakit-penyakit ini sumbernya dari kota. Orang kota yang menjadi penyebabnya. Orang kaya yang menyebarluaskannya. Orang miskin?

Kami orang miskin sudah sibuk dan habis waktu kami untuk berjuang melawan kemiskinan yang kami alami. 

Begitulah cara cuci tangan ala petani!
---

12.3.20

Keputusan MA Tepat dan Mewakili Rasa Keadilan Bagi Peserta BPJS

Putusan Mahkamah Agung  yang membatalkan pasal 34  pada PERPRES No.75 Tahun 2019,  adalah keputusan yang  tepat dan telah mewakili rasa keadilan bagi peserta BPJS dan kepala-kepala daerah yang beberapa bulan terakhir ini menghadapi situasi yang dilematis, antara memenuhi janji program kesehatan gratis pada saat pilkada dan ketersediaan anggaran (APBD). 

Bahwa putusan MA tersebut tentu berdasarkan pertimbangan adanya pertentangan dengan pasal asas pada UUD 1945, demikian pula pasal asas pada UU NO.40/2004 tentang SJSN,  UU No.24/2011 tentang BPJS dan UU No.36/2009 Kesehatan yang menjadi dasar penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan  dengan pasal 34 Perpres 75/2019. 

Pertentangan tersebut tentu saja mengenai hal yang sangat prinsip atau melanggar pasal asas dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Bahwa penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional  berdasarkan prinsip Jaminan Sosial pasal 34 ayat 2 UUD 1945, pasal 2 UU SJSN tentang asas kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pasal  3 UU SJSN tentang pemenuhan Hak Dasar Rakyat dibidang kesehatan,  bukan didasarkan pada prinsip Asuransi (perhitungan  kenaikan iuran berdasarkan aktuaria). 

Bahwa pasal 34 Perpres 75/2019  juga telah melanggar pasal 3 UU BPJS tentang prinsip penyelenggaraan yaitu Prinsip nirlaba, bahwa  prinsip utama pengelolaan usaha dan  penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta,  bukan bagi kesejahteraan direksi, pegawai, apalagi mencari keuntungan (baca: gaji direksi dan pegawai BPJS yang didapat dari iuran peserta nilainya ratusan juta).

Demikian pula dengan prinsip keterbukaan yang seharusnya mempermudah akses bagi rakyat untuk mendapat manfaat dari progran JKN, malah kenyataannya menjadi terbalik, banyak kepala daerah yang tidak mampu membiayai warganya kerena kenaikan iuran yang tidak memperhitungkan  kemampuan keuangan daerah, peserta yang turun kelas dan peserta yang mogok bayar. 

Prinsip kehati-hatian, teliti, cermat dalam pengelolaan keuangan dan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan juga tidak terbukti dengan kenaikan yang sudah kedua kalinya, pertama pada kenaikan 2016 dimana kenaikan tersebut untuk mengatasi defisit  ditahun sebelumnya sebesar 1,9 triliun tahun 2014, lalu 9,4 triliun ditahun 2015, dan 6,7 triliun  ditahun 2016,  namun ternyata  tahun berikutnya malah defisitnya bertambah besar  menjadi 13,8 triliun tahun 2017 dan ditahun 2018 menjadi 19,4 triliun, demikian pula kenaikan di tahun  2019 dengan alasan yang sama, namun tetap defisit sebagaimana telah disampaikan oleh menteri keuangan Sri Mulyani pada akhir februari 2020 sebesar 13,5 triliun. 

Ini menjadi bukti bahwa sistem Jaminan Sosial yang berubah menjadi sistem Jaminan Asuransi Sosial Kesehatan tidak akan efektif untuk dilaksanakan lagi karena melanggar Konstitusi pasal 28 H dan pasal 34 UUD 1945, dan menjadi beban bagi rakyat (utamanya didaerah dengan UMP/UMK hanya 1,5 juta/bulan, beban bagi APBD dan APBN (beban iuran dan dana talangan untuk menutupi defisit). 

Maka sudah sepatutnya Presiden Jokowi membubarkan BPJS dan membentuk Sistem Jaminan Kesehatan yang baru  bagi seluruh rakyat (semesta) dengan prinsip: 

1. Jaminan Sosial (sesuai konstitusi) bukan Asuransi Sosial. 

2. Penyelenggaranya adalah Kementerian Kesehatan. 

3. Cukup dengan menggunakan identitas KTP/KK (ini untuk menghindari kesalahan data).

4. Anggaran dari APBN dan APBD. 

Ini juga agar pemerintah bisa membangun infrastruktur Rumah Sakit tipe A dan B diwilayah NKRI dan membangun kembali Industri Farmasi dalam negeri. 

Demikian pernyataan sikap ini, dan kepada kawan-kawan KPCDI kami ucapkan selamat atas keberhasilan memenangkan Gugatan TUN pasal 34 PEPRES 75/2019

Jakarta, 9 Maret 2020. 

Dewan Pimpinan Nasional - Serikat Rakyat Miskin Indonesia

Ketua Umum

11.3.20

CORONA & MASKER ALTERNATIF

Dan, virus pembunuh yang bernama "CORONA atau convid-19" itupun sudah menyebar ke mana-mana, kesemua negara di dunia. Ada yang sudah terjangkiti dan ada yang baru sebatas mendengar kabar penyebarannya. 

Di mulai dari Cina, lalu menyebar ke Timur Tengah dan Asia, serta bergerilya di benua Eropa, Amerika dan Afrika. Ya. Begitulah pola pergerakan virus corona. 

Kehadiran virus corona telah melahirkan dua hal, yakni kematian dan kepanikan. Terkait dengan kepanikan, ada dua hal: 
1. Kepanikan psikologi manusia 
2. Kepanikan pasar. 

Melihat hal tersebut, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) segera mengeluarkan "fatwa" yang diantaranya menyerukan kepada masyarakat manusia untuk menggunakan masker dan cairan pembersih tangan agar tidak tertular virus corona. 

Bak gayung bersambut. Tanpa pikir panjang, banyak warga masyarakat yang kemudian berbondong-bondong menyerbu pertokoan. Ada yang membeli dengan eceran dan ada yang membeli dengan cara memborong.

Hukum pasarpun berlaku. Permintaan tinggi, ketersediaan barang terbatas. Bagi pelaku pasar, maka tidak ada jalan lain selain melakukan aksi penimbunan. Akhirnya, masker dan lainnya menjadi barang langka. Harga melonjak tinggi. Bahkan di Jakarta mencapai 300 ribu rupiah per kotak. 

Berkaitan dengan penimbunan, khusus di negeri ini ada dua motif, yakni motif ekonomi dan motif politik. Motif ekonomi adalah untuk mendapatkan keuntungan finansial (uang) sebesar-besarnya. Sedangkan berkaitan dengan motif politik, mungkin contohnya seperti yang dilakukan oleh Walikota Surabaya, Risma. Dimana Risma mengakui sengaja menimbun masker untuk mengantisipasi datangnya wabah corona. 

Motif. Apapun yang namanya motif, sifatnya subjektif. Fakta yang ada adalah masker menjadi barang yang langka, yang kemudian memicu terjadinya kenaikan harga. 

Kelangkaan masker tidak hanya terjadi di negeri ini. Negara-negara lain mengalami nasib yang serupa. 

Kepanikan psikologis yang dialami oleh hampir setiap orang yang takut akan tertular, takut sakit, dan takut mati telah melahirkan produk-produk "masker alternatif." Munculnya ide membuat masker dari kulit jeruk, botol mineral, plastik, hingga mengenakan pakaian burqo (cadar) sebagaimana yang dilakukan oleh banyak warga di kawasan Timur Tengah. 
---