12.3.20

Keputusan MA Tepat dan Mewakili Rasa Keadilan Bagi Peserta BPJS

Putusan Mahkamah Agung  yang membatalkan pasal 34  pada PERPRES No.75 Tahun 2019,  adalah keputusan yang  tepat dan telah mewakili rasa keadilan bagi peserta BPJS dan kepala-kepala daerah yang beberapa bulan terakhir ini menghadapi situasi yang dilematis, antara memenuhi janji program kesehatan gratis pada saat pilkada dan ketersediaan anggaran (APBD). 

Bahwa putusan MA tersebut tentu berdasarkan pertimbangan adanya pertentangan dengan pasal asas pada UUD 1945, demikian pula pasal asas pada UU NO.40/2004 tentang SJSN,  UU No.24/2011 tentang BPJS dan UU No.36/2009 Kesehatan yang menjadi dasar penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan  dengan pasal 34 Perpres 75/2019. 

Pertentangan tersebut tentu saja mengenai hal yang sangat prinsip atau melanggar pasal asas dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Bahwa penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional  berdasarkan prinsip Jaminan Sosial pasal 34 ayat 2 UUD 1945, pasal 2 UU SJSN tentang asas kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pasal  3 UU SJSN tentang pemenuhan Hak Dasar Rakyat dibidang kesehatan,  bukan didasarkan pada prinsip Asuransi (perhitungan  kenaikan iuran berdasarkan aktuaria). 

Bahwa pasal 34 Perpres 75/2019  juga telah melanggar pasal 3 UU BPJS tentang prinsip penyelenggaraan yaitu Prinsip nirlaba, bahwa  prinsip utama pengelolaan usaha dan  penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta,  bukan bagi kesejahteraan direksi, pegawai, apalagi mencari keuntungan (baca: gaji direksi dan pegawai BPJS yang didapat dari iuran peserta nilainya ratusan juta).

Demikian pula dengan prinsip keterbukaan yang seharusnya mempermudah akses bagi rakyat untuk mendapat manfaat dari progran JKN, malah kenyataannya menjadi terbalik, banyak kepala daerah yang tidak mampu membiayai warganya kerena kenaikan iuran yang tidak memperhitungkan  kemampuan keuangan daerah, peserta yang turun kelas dan peserta yang mogok bayar. 

Prinsip kehati-hatian, teliti, cermat dalam pengelolaan keuangan dan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan juga tidak terbukti dengan kenaikan yang sudah kedua kalinya, pertama pada kenaikan 2016 dimana kenaikan tersebut untuk mengatasi defisit  ditahun sebelumnya sebesar 1,9 triliun tahun 2014, lalu 9,4 triliun ditahun 2015, dan 6,7 triliun  ditahun 2016,  namun ternyata  tahun berikutnya malah defisitnya bertambah besar  menjadi 13,8 triliun tahun 2017 dan ditahun 2018 menjadi 19,4 triliun, demikian pula kenaikan di tahun  2019 dengan alasan yang sama, namun tetap defisit sebagaimana telah disampaikan oleh menteri keuangan Sri Mulyani pada akhir februari 2020 sebesar 13,5 triliun. 

Ini menjadi bukti bahwa sistem Jaminan Sosial yang berubah menjadi sistem Jaminan Asuransi Sosial Kesehatan tidak akan efektif untuk dilaksanakan lagi karena melanggar Konstitusi pasal 28 H dan pasal 34 UUD 1945, dan menjadi beban bagi rakyat (utamanya didaerah dengan UMP/UMK hanya 1,5 juta/bulan, beban bagi APBD dan APBN (beban iuran dan dana talangan untuk menutupi defisit). 

Maka sudah sepatutnya Presiden Jokowi membubarkan BPJS dan membentuk Sistem Jaminan Kesehatan yang baru  bagi seluruh rakyat (semesta) dengan prinsip: 

1. Jaminan Sosial (sesuai konstitusi) bukan Asuransi Sosial. 

2. Penyelenggaranya adalah Kementerian Kesehatan. 

3. Cukup dengan menggunakan identitas KTP/KK (ini untuk menghindari kesalahan data).

4. Anggaran dari APBN dan APBD. 

Ini juga agar pemerintah bisa membangun infrastruktur Rumah Sakit tipe A dan B diwilayah NKRI dan membangun kembali Industri Farmasi dalam negeri. 

Demikian pernyataan sikap ini, dan kepada kawan-kawan KPCDI kami ucapkan selamat atas keberhasilan memenangkan Gugatan TUN pasal 34 PEPRES 75/2019

Jakarta, 9 Maret 2020. 

Dewan Pimpinan Nasional - Serikat Rakyat Miskin Indonesia

Ketua Umum

No comments:
Write komentar