23.11.16

Berkah Sejarah

Bersejarah itu penting, tetapi menyejarah itu jauh lebih penting. Jika bersejarah itu cuma menyangkut masa lalu, menyejarah itu menyangkut sekaligus masa lalu, masa kini dan masa depan. Sejarah bisa berhenti karena sebuah sebab, juga bisa diteruskan karena sebuah sebab. Sebab itu bernama nilai yang disirkulasikan. Karena cuma air yang mengalir yang akan membuat sehat ikan-ikan.


Ketika Wall Street jatuh, penyebabnya bukan karena kelangkaan uang, tetapi uang yang tidak dialirkan. Bursa saham telah membentuk kebudayaan baru, bahwa dagangan paling berharga bukanlah barang, melainkan uang itu sendiri. Akhirnya uang tidak lagi menjadi alat pembayaran, tetapi sekadar alat perdagangan. Yang beredar kemudian sekadar angka-angka, tetapi uangnya tidak mengalir ke mana-mana. Uang itu menumpuk, mengalami obesitas dan menjalar sebagai kanker bagi negara. Itulah karma uang yang tidak diedarkan. Itulah kenapa krisis finansial di Amerika tidak menjalar ke Indonesia karena kita memilki banyak bang thithil, bang plecit, kredit candhak kulak, BPR dan pegadaian.


Di negeri ini, entah karena kemuliaanya, keluguannya atau malah ketertinggalannya, uang itu masih beredar hingga ke ceruk-ceruk paling bawah. Uang masih diperlakukan sesuai esensinya sebagai alat pembayaran. Ada banyak sekali pinjaman tanpa agunan bagi bakul-bakul pasar yang azasnya cukup kepercayaan. Yang penting engkau masih ke pasar dan berjualan, itulah sebenar benarnya agunan. Pasar tradisional itu, bukanlah sekadar tempat jual beli. Tetapi ia adalah  sebuah rumah besar tempat seluruh nilai dialirkan.


Seperti halnya  uang, sejarah juga  bisa  diputarkan dan bisa dihentikan. Bank-bank boleh menyalurkan kredit cuma kepada sektor  konsumsi, bukan kepada produksi. Tetapi konsumsi tanpa  produksi adalah terus menerus makan tanpa henti. Candi-candi kuno bisa dibiarkan tetap terpendam, dibiarkan sebagai reruntuhan, bisa juga digali, dikonservasi dan diaktualisasi. Patung-patung primitif Toraja menjadi berharga setelah disirkulasikan ke seluruh benua dan kini banyak diduplikasi di Bali. Setelah nilainya dihidupkan, barulah barang-barang kuno yang semula berserakan itu 'layak' dicuri.


Jadi setidaknya ada tiga tawaran untuk manusia di hadapan  sejarah : mendiamkan, merawat, dan menghidupkan. Di titik manakah kemampuan kita sebagai bangsa di hadapan tawaran  ini? Mendiamkan pasti tidak, tetapi merawat pasti belum, menghidupkan apalagi. Merawat Kota Lama misalnya,  sejatinya mudah jika rumusan merawat hanyalah memasang paving baru, membersihkan got dan mengecat ulang bangunan. Tetapi tindakan ini pasti bukan  sebenar-benarnya perawatan karena perawatan yang  sesungguhnya adalah memberinya kehidupan . Berwisata ke Borobudur pasti tidak hanya butuh melihat batu, tetapi melihat candi, arsitektur, seni rupa, ritus dan perayaan nilai. Melihat kota lama tanpa sebuah nilai yang dihidupkan, hanyalah melihat bangunan mangkrak yang dicat berulang-ulang tetapi dengan hantu, jin dan para pemabok tetap berseliweran.


Kepada sejarah tidak cukup hanya dirawat dan dikenang tetapi juga harus diberi nilai tambah. Karena hidup memang tidak cukup berhenti hanya sebagai sejarah tetapi juga harus terus menyejarah.

Abd Azis M

No comments:
Write komentar