11.4.20

Corona Antara Perikemanusiaan dan Perekonomian


Bahwa pemerintah lambat melakukan antisipasi terhadap wabah corona, bukan rahasia umum lagi. Bahwa pemerintah mengalami kebingungan dan kelabakan dalam menangani penyebaran virus corona, semua mata juga melihatnya. Bahwa pemerintah mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bertindak terkait dengan corona, kita semua melihatnya. Bahwa pada akhirnya pemerintah pun melakukan tindakan-tindakan guna menangani jatuhnya korban dan mencegah meluasnya virus corona, ini juga sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri. Dan seterusnya. 

Secara pribadi, saya mencermati bahwa ada poin prinsipal yang bisa kita petik akan hikmah dan sekaligus sebagai bahan perenungan bersama guna membangun rakyat dan bangsa ini di masa mendatang. Poin tersebut berkaitan dengan unsur KEMANUSIAAN dan PEREKONOMIAN. 

Tentang kemanusiaan dan perekonomian, nampak jelas sekali ada kebingungan dari banyak pihak (termasuk pemerintah sendiri) mengenai mana dari kedua hal tersebut yang harus didahulukan dan diprioritaskan "apakah kemanusiaan dulu atau perekonomian dahulu." Mirip dengan kasus "duluan mana antara telur dengan ayam."

Jika kita menggunakan pendekatan linguistik (ketatabahasaan), baik kemanusiaan dan perekonomian adalah kata sifat. Karena "sifat" berarti keduanya hanyalah "dampak." Dampak dari apa? Dampak dari kata dasar, yakni MANUSIA dan EKONOMI.

Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk hidup yang berpikir. Sedangkan ekonomi merupakan segala kegiatan yang dilakukan oleh mahluk berpikir tersebut di sepanjang hidup dan kehidupannya. Jadi jelas bahwa manusia ada terlebih dahulu dibandingkan ekonomi. Jika manusia tidak ada, maka ekonomi pun tidak ada. Sebenarnya ini pelajaran dasar, anak-anak PAUD pun tahu. Tapi mengapa, pada saat merespon wabah virus corona mengalami kebingungan dalam hal menentukan prioritas?

Lagi-lagi, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa rezim Jokowi adalah sebuah pemerintahan pro neoliberalisme. Sebuah pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan modal dan pasar. Untuk mengetahuinya cukup mudah, seperti dengan melihat kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan yang dibuatnya (contohnya omnibus law) serta orang-orang yang bekerja dan berada di sekitar Jokowi. Semua itu potret atau cerminan dari neoliberalisme. 

Maka tidak heran, jika pemerintahan Jokowi dalam hal menangani wabah virus corona lebih mengedepankan pendekatan perekonomian daripada pendekatan kemanusiaan. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kecemasan bila perekonomian di negara ini jeblok atau hancur. Mereka tidak seberapa takut dan risau jatuhnya korban nyawa dari warga negaranya. Akhirnya apa? Lockdown-nya malu-malu, dan seterusnya. 

Semenjak kasus corona ini merebak di negeri ini, terlihat sekali ada kekuatan neoliberalisme di belakang atau bersama Jokowi. Mereka intinya berpandangan bahwa lockdown tidak boleh dilakukan karena bisa menghancurkan perekonomian. Buruh-buruh harus tetap bekerja karena produksi perusahaan bisa terhenti. Mereka menempatkan unsur manusia dan kemanusiaan sebagai unsur sekunder atau dampak. 

Beberapa hari terakhir ini kita membaca berita bahwa sudah banyak dokter dan perawat yang tumbang (meninggal dunia) serta banyak yang positif terkena covid-19. Belum lagi ditambah dengan semakin banyak dan meluasnya anggota masyarakat yang tertular virus mematikan tersebut. 

Meskipun sudah terlambat, tetapi belum benar-benar terlambat guna mencegah jatuhnya banyak korban nyawa. Tentunya kita tidak ingin, Indonesia akan mengalami nasib seperti di negara Ekuador dimana mayat-mayat manusia dibiarkan berserakan di jalan; atau seperti di Amerika Serikat dimana mayat-mayat berjatuhan seperti lalat.

Bicara perekonomian riil, kita bicara warga masyarakat. Jika banyak warga yang mati, bukankah ini juga akan menimbulkan kehancuran ekonomi!?

Bahaya itu bukan karena adanya kejahatan tetapi karena kita yang melihatnya hanya duduk terdiam. Diamnya kita sama artinya dengan membiarkan pacar, orang tua, anak-anak, teman, saudara, tetangga mati "dimakan" virus corona.

Negara ini diperjuangkan dan dimerdekakan oleh rakyat, bukan oleh kaum milioner atau triliuner. Ekonomi yang hancur bisa diperbaiki kembali selama manusianya masih hidup. Tapi, manusia yang sudah mati maka tidak bisa dihidupkan kembali! Begitulah Pak Jokowi!

Va Safi'i

No comments:
Write komentar