Showing posts with label Tulisan Sahabat. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Sahabat. Show all posts

8.12.16

Zero Trust Society

Judul di atas terinspirasi oleh bacaan saya terhadap pemikiran Francis Fukuyama dalam bukunya Trust : The Social and The Creation of Prosperity (1995). Lewat bukunya setebal 457 halaman itu, Fukuyama menyadarkan kita bahwa untuk membangun basis ekonomi yang kuat dan tahan lama maka sebuah bangsa tidak hanya menyandarkan pada kekayaan alamnya dan modal uang melimpah, melainkan tak kalah vitalnya apa yang disebut 'social capital' atau modal sosial yang dimilikinya. Di samping aset SDM yang berkualitas, elemen pokok dari modal sosial adalah kuatnya sifat dan sikap untuk saling percaya dan bisa dipercaya baik dalam bentuk relasi vertikal maupun relasi horizontal sehingga masyarakat layak disebut 'high trust society'. Dengan demikian, trust atau sikap amanah merupakan salah satu modal utama untuk menciptakan kehidupan politik dan ekonomi yang kokoh dan tahan lama.

Baca Juga

Fukuyama menyajikan analisa-komparatif beberapa negara yang secara ekonomi tergolong maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Italia, Cina, Jepang, dan Korea. Sekalipun negara-negara tersebut semuanya mengalami loncatan kemajuan dalam bidang industri, Fukuyama melihat dua macam karakter sosial yang sangat berbeda dari masing-masing masyarakatnya. Dia memasukkan masyarakat Amerika Serikat sebagai ‘high trust society’, sedangkan masyarakat Cina pada umumnya dikategorikan sebagai ‘low trust society’.

Karena kuatnya faham individualisme dan pendidikan yang rata, birokrasi pemerintahan maupun perusahaan di Amerika Serikat berkembang secara rasional dan efisien. Di sana kesuksesan seseorang diraih karena kerja keras dan kemampuan pribadi yang terukur dan teruji, bukannya faktor keluarga ataupun kroni. Fukuyama juga memasukkan etika Protestan yang sangat besar pengaruhnya dalam bentuk karakter bangsa Amerika bahwa Tuhan mencintai orang-orang yang bekerja keras, hidup hemat, dan menghargai prestasi individual. Berdasarkan asumsi ini, beberapa sosiolog menyimpulkan bahwa negara-negara Barat yang mayoritas rakyatnya beragama Protestan, rata-rata pertumbuhan ekonominya lebih maju ketimbang masyarakat Katolik yang berciri hirarkis dan komunalistik. Berbeda dari pengertian egoisme, faham individualisme yang berkembang di Amerika Serikat telah mendorong munculnya iklim kompetitif dan kreatif yang pada urutannya menyuburkan iklim 'enterpreneurship' yang mengandalkan kompetensi pribadi serta korporasi secara rasional dan sukarela serta saling percaya.

Karakter sosial di atas sangat berbeda dari masyarakat Timur yang lebih menekankan pada kekuatan kelompok, baik karena ikatan darah, etnis, maupun wibawa institusi agama. Masyarakat Cina khususnya, sangat kuat pada ikatan keluarga dan paham paternalistik yang hal ini antara lain dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme yang sangat menjunjung tinggi martabat orang tua dan leluhurnya. Oleh karena itu, menurut Fukuyama, bisnis yang berkembang di kalangan masyarakat Cina sangat kental diwarnai oleh ‘family oriented association’. Mereka tergolong ‘low trust society’ dalam pengertian sulit percaya pada orang lain untuk menjalin bisnis besar, karena mereka hanya percaya pada anggota keluarga sendiri. Berbeda dari masyarakat Cina adalah masyarakat Jepang yang ditandai dengan kuatnya ‘group oriented association’ dalam menjalankan bisnisnya. Tentu saja klasifikasi sosial di atas bisa diperdebatkan keabsahannya mengingat pada kenyataannya setiap masyarakat memiliki kondisi yang unik dengan logikanya masing-masing. Namun demikian jika diamati secara empiris apa yang dikemukakan Fukuyama tetap mengandung sinyal kebenaran. Bagi mereka yang pernah tinggal dan mengamati secara sepintas terhadap perilaku bisnis dan iklim birokrasi di Amerika Serikat, Cina, dan Jepang memang terasa ada benarnya hasil pengamatan Fukuyama di atas.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah : bagaimana kita menilai perilaku sosial bangsa Indonesia dalam bidang politik dan ekonomi ? Jangan-jangan bangsa ini masuk dalam kategori ‘zero trust society’ sehingga pembangunan politik dan ekonomi yang kita lakukan menelan ongkos materi dan sosial yang amat mahal, sementara hasilnya sangat mengecewakan.
Semoga tidak demikian !

Abd Azis Mustakim

28.11.16

Cara Mudah Scan Buku di Android

Lagi males ngetik tapi dapat tugas kantor atau kuliah. Gampang gengs. Tinggal scan aja buku yang mau di scan. Hebatnya. Kita gak perlu mesin scanner. Cukup pake android. Mau tau gimana???
Check it out on youtube channel ya gengs.
Eits, Jangan lupa like and suscribe untuk info, tutorial, tips and trik menarik lainnya yaa.



Jangan Lupa Subscrib ya 





23.11.16

Berkah Sejarah

Bersejarah itu penting, tetapi menyejarah itu jauh lebih penting. Jika bersejarah itu cuma menyangkut masa lalu, menyejarah itu menyangkut sekaligus masa lalu, masa kini dan masa depan. Sejarah bisa berhenti karena sebuah sebab, juga bisa diteruskan karena sebuah sebab. Sebab itu bernama nilai yang disirkulasikan. Karena cuma air yang mengalir yang akan membuat sehat ikan-ikan.


Ketika Wall Street jatuh, penyebabnya bukan karena kelangkaan uang, tetapi uang yang tidak dialirkan. Bursa saham telah membentuk kebudayaan baru, bahwa dagangan paling berharga bukanlah barang, melainkan uang itu sendiri. Akhirnya uang tidak lagi menjadi alat pembayaran, tetapi sekadar alat perdagangan. Yang beredar kemudian sekadar angka-angka, tetapi uangnya tidak mengalir ke mana-mana. Uang itu menumpuk, mengalami obesitas dan menjalar sebagai kanker bagi negara. Itulah karma uang yang tidak diedarkan. Itulah kenapa krisis finansial di Amerika tidak menjalar ke Indonesia karena kita memilki banyak bang thithil, bang plecit, kredit candhak kulak, BPR dan pegadaian.


Di negeri ini, entah karena kemuliaanya, keluguannya atau malah ketertinggalannya, uang itu masih beredar hingga ke ceruk-ceruk paling bawah. Uang masih diperlakukan sesuai esensinya sebagai alat pembayaran. Ada banyak sekali pinjaman tanpa agunan bagi bakul-bakul pasar yang azasnya cukup kepercayaan. Yang penting engkau masih ke pasar dan berjualan, itulah sebenar benarnya agunan. Pasar tradisional itu, bukanlah sekadar tempat jual beli. Tetapi ia adalah  sebuah rumah besar tempat seluruh nilai dialirkan.


Seperti halnya  uang, sejarah juga  bisa  diputarkan dan bisa dihentikan. Bank-bank boleh menyalurkan kredit cuma kepada sektor  konsumsi, bukan kepada produksi. Tetapi konsumsi tanpa  produksi adalah terus menerus makan tanpa henti. Candi-candi kuno bisa dibiarkan tetap terpendam, dibiarkan sebagai reruntuhan, bisa juga digali, dikonservasi dan diaktualisasi. Patung-patung primitif Toraja menjadi berharga setelah disirkulasikan ke seluruh benua dan kini banyak diduplikasi di Bali. Setelah nilainya dihidupkan, barulah barang-barang kuno yang semula berserakan itu 'layak' dicuri.


Jadi setidaknya ada tiga tawaran untuk manusia di hadapan  sejarah : mendiamkan, merawat, dan menghidupkan. Di titik manakah kemampuan kita sebagai bangsa di hadapan tawaran  ini? Mendiamkan pasti tidak, tetapi merawat pasti belum, menghidupkan apalagi. Merawat Kota Lama misalnya,  sejatinya mudah jika rumusan merawat hanyalah memasang paving baru, membersihkan got dan mengecat ulang bangunan. Tetapi tindakan ini pasti bukan  sebenar-benarnya perawatan karena perawatan yang  sesungguhnya adalah memberinya kehidupan . Berwisata ke Borobudur pasti tidak hanya butuh melihat batu, tetapi melihat candi, arsitektur, seni rupa, ritus dan perayaan nilai. Melihat kota lama tanpa sebuah nilai yang dihidupkan, hanyalah melihat bangunan mangkrak yang dicat berulang-ulang tetapi dengan hantu, jin dan para pemabok tetap berseliweran.


Kepada sejarah tidak cukup hanya dirawat dan dikenang tetapi juga harus diberi nilai tambah. Karena hidup memang tidak cukup berhenti hanya sebagai sejarah tetapi juga harus terus menyejarah.

Abd Azis M