Showing posts with label Corona. Show all posts
Showing posts with label Corona. Show all posts

11.4.20

Perbedaan Konsep Sosialis dan Neolib Soal Masker

Ini bedanya Sosialisasi dan Neolib soal masker. 

Sosialis: Masker sebagai APD penting, apalagi di masa pandemi, masker menjadi tanggung jawab Negara. Negara wajib mengurusi produksi dan distribusinya. 

Hasilnya: masker (sesuai standar kesehatan) diproduksi massal, lalu dibagikan gratis kepada rakyatnya.

Neolib: Sekalipun penting, apalagi di masa pandemi begini, masker jadi tanggung-jawab pribadi/personal. Biarkan mekanisme pasar yang mengatur produksi dan distribusinya.

Hasilnya: Masker berkualitas tinggi (N100, N99, N95, dll) diborong kaum kaya, sedangkan orang miskin memakai masker seadanya (masker kain). Ada juga yang nggak kebagian masker. Masker jadi barang langka dan harganya mahal.
Rudi Hartono

Corona Antara Perikemanusiaan dan Perekonomian


Bahwa pemerintah lambat melakukan antisipasi terhadap wabah corona, bukan rahasia umum lagi. Bahwa pemerintah mengalami kebingungan dan kelabakan dalam menangani penyebaran virus corona, semua mata juga melihatnya. Bahwa pemerintah mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bertindak terkait dengan corona, kita semua melihatnya. Bahwa pada akhirnya pemerintah pun melakukan tindakan-tindakan guna menangani jatuhnya korban dan mencegah meluasnya virus corona, ini juga sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri. Dan seterusnya. 

Secara pribadi, saya mencermati bahwa ada poin prinsipal yang bisa kita petik akan hikmah dan sekaligus sebagai bahan perenungan bersama guna membangun rakyat dan bangsa ini di masa mendatang. Poin tersebut berkaitan dengan unsur KEMANUSIAAN dan PEREKONOMIAN. 

Tentang kemanusiaan dan perekonomian, nampak jelas sekali ada kebingungan dari banyak pihak (termasuk pemerintah sendiri) mengenai mana dari kedua hal tersebut yang harus didahulukan dan diprioritaskan "apakah kemanusiaan dulu atau perekonomian dahulu." Mirip dengan kasus "duluan mana antara telur dengan ayam."

Jika kita menggunakan pendekatan linguistik (ketatabahasaan), baik kemanusiaan dan perekonomian adalah kata sifat. Karena "sifat" berarti keduanya hanyalah "dampak." Dampak dari apa? Dampak dari kata dasar, yakni MANUSIA dan EKONOMI.

Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk hidup yang berpikir. Sedangkan ekonomi merupakan segala kegiatan yang dilakukan oleh mahluk berpikir tersebut di sepanjang hidup dan kehidupannya. Jadi jelas bahwa manusia ada terlebih dahulu dibandingkan ekonomi. Jika manusia tidak ada, maka ekonomi pun tidak ada. Sebenarnya ini pelajaran dasar, anak-anak PAUD pun tahu. Tapi mengapa, pada saat merespon wabah virus corona mengalami kebingungan dalam hal menentukan prioritas?

Lagi-lagi, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa rezim Jokowi adalah sebuah pemerintahan pro neoliberalisme. Sebuah pemerintahan yang mengabdi pada kepentingan modal dan pasar. Untuk mengetahuinya cukup mudah, seperti dengan melihat kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan yang dibuatnya (contohnya omnibus law) serta orang-orang yang bekerja dan berada di sekitar Jokowi. Semua itu potret atau cerminan dari neoliberalisme. 

Maka tidak heran, jika pemerintahan Jokowi dalam hal menangani wabah virus corona lebih mengedepankan pendekatan perekonomian daripada pendekatan kemanusiaan. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kecemasan bila perekonomian di negara ini jeblok atau hancur. Mereka tidak seberapa takut dan risau jatuhnya korban nyawa dari warga negaranya. Akhirnya apa? Lockdown-nya malu-malu, dan seterusnya. 

Semenjak kasus corona ini merebak di negeri ini, terlihat sekali ada kekuatan neoliberalisme di belakang atau bersama Jokowi. Mereka intinya berpandangan bahwa lockdown tidak boleh dilakukan karena bisa menghancurkan perekonomian. Buruh-buruh harus tetap bekerja karena produksi perusahaan bisa terhenti. Mereka menempatkan unsur manusia dan kemanusiaan sebagai unsur sekunder atau dampak. 

Beberapa hari terakhir ini kita membaca berita bahwa sudah banyak dokter dan perawat yang tumbang (meninggal dunia) serta banyak yang positif terkena covid-19. Belum lagi ditambah dengan semakin banyak dan meluasnya anggota masyarakat yang tertular virus mematikan tersebut. 

Meskipun sudah terlambat, tetapi belum benar-benar terlambat guna mencegah jatuhnya banyak korban nyawa. Tentunya kita tidak ingin, Indonesia akan mengalami nasib seperti di negara Ekuador dimana mayat-mayat manusia dibiarkan berserakan di jalan; atau seperti di Amerika Serikat dimana mayat-mayat berjatuhan seperti lalat.

Bicara perekonomian riil, kita bicara warga masyarakat. Jika banyak warga yang mati, bukankah ini juga akan menimbulkan kehancuran ekonomi!?

Bahaya itu bukan karena adanya kejahatan tetapi karena kita yang melihatnya hanya duduk terdiam. Diamnya kita sama artinya dengan membiarkan pacar, orang tua, anak-anak, teman, saudara, tetangga mati "dimakan" virus corona.

Negara ini diperjuangkan dan dimerdekakan oleh rakyat, bukan oleh kaum milioner atau triliuner. Ekonomi yang hancur bisa diperbaiki kembali selama manusianya masih hidup. Tapi, manusia yang sudah mati maka tidak bisa dihidupkan kembali! Begitulah Pak Jokowi!

Va Safi'i

31.3.20

Bengkulu Darurat Corona

Satu Pasien Corona Meninggal Dunia di Bengkulu


23.3.20

Covid-19 - Antara Isolasi Mandiri dan Buruh

Perumahan Buruh
"Perkampungan buruh" yang berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat

Kemarin juru bicara pemerintah menyatakan bahwa seseorang yang dari hasil test dinyatakan positif mengidap virus corona agar melakukan ISOLASI MANDIRI. Isolasi mandiri merupakan mekanisme penanganan virus corona yang dilakukan oleh masing-masing penderita dengan cara mengkarantina diri di rumahnya sendiri-sendiri.

Kebijakan yang aneh dan terkesan AMBURADUL bin SEMRAWUT. Sepanjang yang saya tahu, tipikal masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan tempat tinggal berkelompok. Tidak ada yang tinggal sendirian.

Ambil contoh kasus kehidupan berkelompok di kota. Dimana-mana di sebuah kota yang ada industri dan pabriknya, maka di situ juga ada semacam "perkampungan" buruh. Buruh tinggal di rumah kos-kosan atau kontrakan.

Silahkan anda lihat foto ini. Ini ada "perkampungan buruh" yang berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Model bangunan mirip dengan tentara yang sedang ikut upacara baris-berbaris. Ruangan tempat tinggal hanya dipisahkan oleh dinding. Dalam setiap ruangan diisi oleh sekitar 2 hingga 6 orang. 

Sekarang anda bisa bayangkan sendiri, andai saja (semoga tidak) ada buruh yang dinyatakan positif mengidap virus corona dan disuruh untuk isolasi mandiri. Bisa dipastikan satu perkampungan buruh akan tertular yang kemudian berlanjut menjadi satu pabrik. Barang-barang yang mereka produksi lalu dijual dan masyarakat membelinya. Hasilnya apa? Hasilnya adalah seindonesia raya akan tertular. 

22.3.20

Tiga Dokter Andalan Meninggal Akibat Corona

Dokter korban corona
Dokter korban Corona

Innalillahi wainna ilaihi roji'uun...
Turut berbelasungkawa sedalam-dalamnya atas berpulangnya para dokter di tengah upaya membaktikan diri untuk melayani masyarakat.

Tiga orang dokter yang berada di garda terdepan meninggal dunia karena minimnya peralatan dan perlengkapan.

1. Kolonel CKM (Purn) dr Djoko Judojoko SpB. Meninggal Sabtu, 21 Maret 2020 pukul 11.15 WIB. Saat dibawa dari Bogor ke RSPAD sudah keadaan sudah sesak nafasnya setelah sempat dirawat di Bogor. Almarhum adalah dokter di BMC Mayapada Bogor.


 2. dr. Hadio Ali Khazatsin, Sp.S, Neurologist RS Premiere Bintaro, Covid-19 positif, meninggal Sabtu, 21 Maret 2020 di RS Persahabatan.


3. dr. Adi Mirsa Putra, Sp.THT di RS Persahabatan, Sabtu, 21 Maret 2020 jam 11.30 WIB dengan status PDP Covid-19. Almarhum praktik di RS Ananda Bekasi dan RS Mitra Keluarga Bekasi Barat.

Ketiga dokter ini dikabarkan meninggal dunia akibat terpapar virus Corona SARS-COV-2 penyebab COVID-19,
Selamat jalan pahlawan pejuang kemanusiaan.

11.3.20

CORONA & MASKER ALTERNATIF

Dan, virus pembunuh yang bernama "CORONA atau convid-19" itupun sudah menyebar ke mana-mana, kesemua negara di dunia. Ada yang sudah terjangkiti dan ada yang baru sebatas mendengar kabar penyebarannya. 

Di mulai dari Cina, lalu menyebar ke Timur Tengah dan Asia, serta bergerilya di benua Eropa, Amerika dan Afrika. Ya. Begitulah pola pergerakan virus corona. 

Kehadiran virus corona telah melahirkan dua hal, yakni kematian dan kepanikan. Terkait dengan kepanikan, ada dua hal: 
1. Kepanikan psikologi manusia 
2. Kepanikan pasar. 

Melihat hal tersebut, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) segera mengeluarkan "fatwa" yang diantaranya menyerukan kepada masyarakat manusia untuk menggunakan masker dan cairan pembersih tangan agar tidak tertular virus corona. 

Bak gayung bersambut. Tanpa pikir panjang, banyak warga masyarakat yang kemudian berbondong-bondong menyerbu pertokoan. Ada yang membeli dengan eceran dan ada yang membeli dengan cara memborong.

Hukum pasarpun berlaku. Permintaan tinggi, ketersediaan barang terbatas. Bagi pelaku pasar, maka tidak ada jalan lain selain melakukan aksi penimbunan. Akhirnya, masker dan lainnya menjadi barang langka. Harga melonjak tinggi. Bahkan di Jakarta mencapai 300 ribu rupiah per kotak. 

Berkaitan dengan penimbunan, khusus di negeri ini ada dua motif, yakni motif ekonomi dan motif politik. Motif ekonomi adalah untuk mendapatkan keuntungan finansial (uang) sebesar-besarnya. Sedangkan berkaitan dengan motif politik, mungkin contohnya seperti yang dilakukan oleh Walikota Surabaya, Risma. Dimana Risma mengakui sengaja menimbun masker untuk mengantisipasi datangnya wabah corona. 

Motif. Apapun yang namanya motif, sifatnya subjektif. Fakta yang ada adalah masker menjadi barang yang langka, yang kemudian memicu terjadinya kenaikan harga. 

Kelangkaan masker tidak hanya terjadi di negeri ini. Negara-negara lain mengalami nasib yang serupa. 

Kepanikan psikologis yang dialami oleh hampir setiap orang yang takut akan tertular, takut sakit, dan takut mati telah melahirkan produk-produk "masker alternatif." Munculnya ide membuat masker dari kulit jeruk, botol mineral, plastik, hingga mengenakan pakaian burqo (cadar) sebagaimana yang dilakukan oleh banyak warga di kawasan Timur Tengah. 
---