Showing posts with label Fiqh. Show all posts
Showing posts with label Fiqh. Show all posts

10.12.16

USHUL FIQH (PRINSIPPRINSIP YURISPRUDENSI)

Untuk mengkaji Fikih, penguasaan banyak cabang ilmu lainnya adalah penting sebagai suatu persiapan.

  1. Bahasa Arab, Ilmu Nahwu (sintaksis, ilmu tata kalimat), tasrif (konjugasi, sistem perubahan bentuk kata kerja yang berhubungan dengan jumlah, jenis kelamin, modus, serta waktu-penerj.), kosakata, semantik (ilmu tentang makna kata, pengetahuan tentang seluk-beluk, dan pergeseran arti kata-penerj), dan balaghah (oratoria, seni bicara dengan fasih dan efektif peny), karena Alquran dan hadis berbahasa Arab, tanpa pengetahuan tentang standar umum bahasa dan kesusastraan Arab, tidak mungkin untuk mendapatkan manfaat dari Alquran dan hadis.
  2. Tafsir Alquran. Menimbang fakta bahwa para fakih harus menggunakan Alquran sebagai sebuah sumber acuan. Pengetahuan dalam bidang tafsir Alquran benar-benar esensial.
  3. Logika (Mantik). Setiap cabang ilmu menggunakan penalaran. oleh karena itu, dibutuhkan logika.
  4. Kajian Hadis. Fakih harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang hadis dan harus mampu membedakan berbagai jenis hadis. Mereka sangat mengenal bahasa hadis-hadis sebagai akibat dari aplikasi yang terus-menerus.
  5. Kajian Perawi (Rijal) Kajian tentang perawi (periwayat) berarti mengetahui identitas dan sifat-sifat mereka yang meriwayatkan hadis. Akan dijelaskan kemudian bagaimana hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis tidak dapat diterima tanpa melewati pengujian. Kajian ini ialah pengujian dan penelitian atas orang-orang yang masuk dalam rantai (isnad) periwayat hadis.
  6. Ushul Fiqh. Cabang ilmu yang paling penting untuk persiapan fikih adalah ushul fiqh. Ushul fiqh sebenarnya adalah kajian tentang kaidah-kaidah yang digunakan dalam menyimpulkan hukum hukum Islam. Ilmu ini mengajarkan cara menyimpulkan dengan benar dan sah dari sumber-sumber yang relevan dalam fikih. Dalam hal ini, Ushul seperti Logika, adalah sebuah kajian tentang perintah-perintah dan lebih bersifat keahlian (kecakapan) daripada sebuah cabang ilmu. Maksudnya, yang dibahas dalam fikih adalah rangkaian hal-hal yang seharusnya, bukan hal-hal yang membentuk rangkaian itu. Mengingat fakta adalah dokumen-dokumen atau sumber-sumber fikih, dalam cara tertentu mungkin dirujuk dan dijadikan dasar menuju kesimpulan yang keliru dan bertentangan dengan pandangan riil syariat Islam, maka diperlukan sebuah bidang kajian khusus yang memungkinkan seseorang untuk memahami secara jelas metode yang benar dan valid dalam menggunakan sumber-sumber fikih sebagai suatu rujukan untuk menyimpulkan dan menarik hukum hukum Islam darinya dengan menggunakan dalil-dalil (bukti-bukt) akal dan dalil-dalil yang diberikan oleh Allah melalui Nabi Saw. dan para imam. Ushul Fiqh adalah bidang kajian yang memenuhi tujuan ini. Sejak zaman awal Islam, banyak kata lain yang bersinonim dengan kata fiqh (yurisprudensi) dan yang telah digunakan secara umum di kalangan kaum Muslim adalah kata "ijtihad'. Di dunia Muslim dewasa ini, kata-kata faqih (fakih) dan mujtahid (orang yang melakukan ijtihad-peny.) merupakan sinonim. Kata "ijtihad" berasal dari kata juhd yang berarti upaya yang benar-benar keras. Untuk alasan ini, seorang fakih juga disebut seorang mujtahid karena dia harus menggunakan seluruh upayanya untuk menyimpulkan hukum-hukum (ahkam) Islam.


  7. Murtadha Muthahhari, Ushul Figh (Prinsip Prinsip Yurisprudensi) 13

29.10.16

Cara Mengetahui Hukum

Cara Mengetahui Hukum

Setiap mukallaf dapat mengetahui hukum syar'i dengan tiga cara:
1. Ijtihad
2. Ihtiyath
3. Taklid.


Penjelasan

1. Ijtihad
Ijtihad ialah menyimpulkan dan mengeluarkan Hukum - hukum syar'i dan undang-undang Ilahi dari sumber-sumber yang diakui oleh para fikih dan ulama Islam.


2. Ihtiyath
Ihtiyath ialah melakukan suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga seseorang merasa yakin bahwa ia telah melaksanakan tugas syar'inya. Misalnya, jika terdapat suatu perbuatan yang diharamkan oleh sebagian mujtahid, sementara sebagian mujtahid tidak mengharamkannya, maka ia tidak melakukannya. Jika terdapat suatu perbuatan diwajibkan oleh sebagian mujtahid, sementara sebagian mujtahid lainnya tidak mewajibkannya, maka ia melakukannya.


3. Taklid
Taklid ialah mengikuti dan mempraktikkan fatwa-fatwa seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat.


Catatan:
- Masalah Taklid, di samping dapat diterapkan berdasarkan dalil lafzhi (tekstual), akal juga dapat menghukumi bahwa seseorang yang jahil dalam Hukum.

 - hukum agama harus merujuk kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat.
- Seorang mukallaf yang belum mencapai peringkat mujtahid dalam hukum-hukum agama harus bertaklid atau ber-ihtiyath.

- Mengingat bahwa melakukan Ihtiyath dalam amal ibadah itu memerlukan pengetahuan atas tata cara dan tempat-tempatnya dan juga lebih banyak menyita waktu, maka si mukallaf lebih baik bertaklid kepada seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat.

- Taklid diwajibkan kepada setiap orang yang telah memenuhi tiga syarat:
1. Mukallaf (telah balig)
2. Bukan mujtahid
3. Bukan muhtath.


DARAS FIKIH, h. 21

26.10.16

Al-Maslahah Al-Mursalah





Al-Maslahah Al-Mursalah


  1. Melindungi jiwa (hifz al-nafs), dan
  2. Melindungi akal (hifz al-aql),
  3. Mlindungi keturunan (hifz al-nasl)
  4. Melindungi harta (hifz al-mal).
Untuk melindungi agama Allah mensyari’atkan bermacam-macam ibadah, mengharamkan perbuatan murtad, melarang memakai sesembahan selain Allah dan lain-lain.

Untuk melindungi jiwa Allah melarang pembunuhan, melarang segala tindakan yang membahayakan jiwa, mensyari’atkan pernikahan, mewajibkan mencari rizki dan lain-lain.

Untuk melindungi akal Allah mengharamkan meminum minuman keras, mewajibkan menuntut ilmu dan lain-lain.

Untuk melindungi keturunan Allah mensyari’atkan pernikahan, melarang perzinaan dan tabanni, dan lain-lain.
Sedang untuk melindungi harta Allah mengharamkan pencurian,riba, judi, dan lain-lain.

Maslahah Hajiyah
Maslahah hajiyah yaitu segla sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segal halangan, pengabaian terhadap maslahah hajiyah tidak menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi akan kesulitan dan kesempitan.

Dalam rangka merealisasi maslahah hajiyah ini Allah mensyari’atkan berbagai transaksi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan memberikan beberapa keringanan hukum, seperti kebolehan menjamak dan menqashar shalat bagi musafir, kebolehan menunda pelaksanaan berpuasa Ramadhan bagi orang yang sedang hamil, menyusui dan sakit, serta tidak diwajibkannya shalat lima waktu bagi orang yang sedang haid dan nifas.
Maslahah Tahsiniyah
Maslahah Tahsiniyah adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul ahlak serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalat. Misalnya mengenakan pakaian yang bagus-bagus ketika shalat, memakai wewangian bagi laki-laki ketika berkumpul dengan orang banyak, pengharaman makanan yang buruk atau menjijikkan, larangan wanita menikahkan dirinya sendiri kepada laki-laki yang dicintainya, dan lain-lain.
Pertentangan Maslahah Mursalah dan Nash
Yang dimaksud pertentangan antara maslahah dengan nash adalah pertentangan antara kemaslahatan dengan nash yang zhanni, baik dari segi wurudnya, maupun dari segi dalalahnya. Jika kemaslahatan tersebut bertentangan dengan nash yang qathi’i, baik dari segi wurud, maupun dalalahnya, maka tidak dapat dipandang sebagai pertentangan. Sebab, pertentangan hanya terjadi antara dua dalil yang berada dalam tingkatan yang sama.

Jika kemaslahatan bertentangan dengan nash qathi’i, secara otomatis nash yang harus diikuti. Sebab dalam kasus seperti ini, sejatinya tidak ada pertentangan, sebab, nash lebih tinggi derajatnya dibanding kemaslahatan. Demikian juga, jika terjadi pertentangan antara nash al-Qur’an dengan qiyas, maka qiyas harus tunduk kepada nash, bukan sebaliknya.
Dengan menyikapi issu pertentangan antara maslahah dan nash, ulama terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu: Kelompok ini yang mendahulukan nash dari pada maslahah. Mereka memandang bahwa hukum itu hanya dapat diambil dari nash, ijma’ atau qiyas. Jika suatu maslahah bertentangan dengan nash,maka maslahah harus diabaikan demi nash. Yang berpendapat demikian adalah kelompok Syafi’iyah dan diikuti oleh Hanabilah. Kelompok ini baru mengambil maslahah jika tidak ada nash, atau fatwa sahabat.
Pendapat ini terbantah dengan beberapa fatwa sahabat yang lebih mengutamakan maslahah dari pada nash. Misalnya keputusan Abu Bakar memerangi orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat, meskipun mereka tetap shalat dan puasa Ramadhan.
Keputusan ini bertentangan dengan hadis mutawattir yang diriwayatkan oleh imam hadis yang enam sebagai berikut yang artinya:
”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berkata: Tiada Tuhan selain Allah. Jika mereka mengucapkannya, berarti mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku, kecuali jika karena alasan yang haq, sedang hisab mereka menjadi urusan Allah.”
Demikian juga Umar bin Khattab yang dalam beberapa fatwa mendahulukan maslahah daripada nash, seperti tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf qulubuhum yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 90.
Namun, fakta-fakta ini juga terbantahkan dengan argument bahwa keputusan Abu Bakar menerangi orang islam yang menolak membayar zakat didasarkan pada nash, yaitu kata “kecuali dengan alasan yang haq”.
Sedangkan keputusan Umar merupakan ijtihadnya dalam memahami dan menerapkan nash berdasarkan illat, yaitu bahwa pemberian zakat kepada muallaf, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah 60 adalah karena kondisi umat islam yang masih lemah saat itu. Sementara, pada masa pemerintahan Umar islam sudah kuat sehingga tidak membutuhkan lagi jaminan rasa dari mereka.
Kelompok yang mendhulukan maslahah dari pada nash. mereka adalah kelompok Malikiyah dan Hanafiyah.
Mereka meninggalkan hadis ahad jika bertentangan dengan maslahah. Diantara pengikut mereka ada yang berlebihan dalam mengutamakan maslahah, yaitu Najm al-Din al-Thufi. Jika ada nash yang qathi’i sekalipun, apabila bertentangan dengan maslahah, nash yang qathi’i tersebut harus tunduk pada kemaslahatan.
Menurut al-Ghazali dan al-Amidi kemaslahahtan dapat didahulukan daripada nash apabila betul-betul dalam keadaan darurat.